HUBUNGAN
DIFLOMATIK
NEGARA
ASEAN
Indonesia
merupakan negara di Asia Tenggara yang masuk dalam ASEAN. Indonesia dikenal
oleh Negara-negara lain sebagai negara sedang berkembang yang mempunyai andil
dalam pembentukan ASEAN. Seiring dengan tujuan dari geopolitik, yaitu hegemoni.
Indonesia sebagai negara yang memprakarsai berdirinya ASEAN tentunya akan
berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dibangun di Asia Tenggara.
Dengan semakin
berkembangnya teknologi dan informasi yang ada di Indonesia, meskipun tidak
sebaik dengan perkembangan teknologi dan informasi yang dimiliki oleh
Singapura, setidaknya Indonesia masih memiliki pengaruh yang kuat di Asia
Tenggara. Ditambah dengan kekuatan yang bersumber dari sektor demografi yang
dimiliki Indonesia dan strategisnya posisi Indonesia dalam sektor ekonomi akan
membuat posisi tawar menawar Indonesia semakin meningkat. Dan pada akhirnya
Indonesia mampu merangkul semua negara ASEAN untuk melakukan kerjasama yang
akan memberikan penilaian tersendiri dari negara-negara di Asia Tengara dalam
mengukur kekuatan yang dimiliki Indonesia.
Indonesia-Malaysia
Hubungan antardua negara
Indonesia-Malaysia belum berlandaskan solidaritas yang saling mengerti dan
menghargai perasaan nasional masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan adanya
serangkaian konflik antara Indonesia-Malaysia selama ini. Semakin hari, seiring
dengan terpuruknya perekonomian Indonesia, Malaysia merasa superior
dibandingkan Indonesia dan rendah dalam memandang Indonesia.
Hubungan tak baik
antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak pembentukan negara Malaysia
yang didukung oleh kolonialisme Inggris. Kala itu bergema slogan yang sangat
kuat: Ganyang Malaysia. Indonesia pun siap mengerahkan segala sumber daya
nasional mulai dari militer sampai kesenian untuk menghancurkan negara boneka
imperialis Inggris: Malaysia.
Akan tetapi periode ini
sudah berakhir: terjadi perubahan orientasi politik dan ekonomi di Indonesia
sejak Orde Baru berkuasa. Permusuhan dihentikan dan hubungan baik dijalankan.
Keduanya bahkan aktif sebagai penjaga kawasan ekonomi dan politik di Asia
Tenggara dan bergabung dalam ASEAN. Terlebih lagi dari segi kultur dan bahasa
memang tak jauh beda antara Indonesia-Malasia. Walau begitu, selalu saja ada
materi konflik yang dimunculkan dan juga terasa tak tuntas dalam
penyelesaiannya. Meski berjiran, hubungan Indonesia dan Malaysia tak selalu
mesra. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak
1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial.
Setelah Soeharto
lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik
hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa
Orba, menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan
Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional. Hubungan kedua
negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita
tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto
kepada Mahkamah Internasional pada 1997. Belum sembuh dari guncangan atas
kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan
mengklaim Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri
Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi
di laut Sulawesi. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut
milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh
PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan
Indonesia atas pulau itu. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun
kembali populer.
Isu-isu berkaitan
dengan nasionalisme selalu berhasil menaikkan tensi hubungan dua negara. Hal
ini dapat dilihat pada kanyataan bahwa akhir-akhir ini hubungan
Indonesia-Malaysia mulai terpicu oleh berbagai kasus lainnya yang lebih pada
isu kemanusiaan, seperti Manohara, TKW (PRT) yang dianiaya majikannya di
Malaysia, dan sampai masalah klaim Malaysia atas hasil seni budaya kita. Tak
urung emosi publik pun semakin berkobar menanggapi rentetatan kasus tersebut,
seolah menantang semangat “nasionalisme” rakyat yang cinta akan bangsanya.
Upaya meredakan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia yang sering terjadi
pun merupakan hubungan formal yang belum mampu memperkuat dan memperluas
hubungan interpersonal antarmasyarakat kedua negara.
Indonesia-Singapura
Bila menilik sekelumit sejarah
Singapura, keterhubungan Indonesia dengannya sangat erat. Tak hanya kedekatan
secara geografis, akan tetapi kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan satu sama
lain. Interaksi sejarah yang masih terkenang adalah pada saat peristiwa Ganyang
Malaysia pada 1963. Singapura dan Brunei bergabung dengan Malaysia memerangi
Indonesia. Akan tetapi, ketika terjadi kerusuhan antara China dan ras Melayu,
Tengku Abdurrahman melepaskan Singapura supaya Melayu menjadi mayoritas di
Malaysia. Bahkan diwartakan, kerusuhan rasial yang terjadi di Negeri Singa itu
didalangi Jakarta.
Di era Soekarno,
konfrontasi ini bermula. Atas nama menentang neokolonialisme, Soekarno berteriak.
Fase historis selanjutnya dijalani oleh negara yang serumpun ini dengan
berbagai jalinan hubungan kerja sama. Sama-sama perintis terbentuknya ASEAN,
Singapura dan Indonesia memadu kasih dengan keserasian. Pada era Soeharto,
nyaris tak ada konflik. Bahkan, bertahun-tahun di bawah kepemimpinan
Soeharto,Singapura bebas melakukan latihan militer bersama. Pada masa orde baru
yang panjang itu, hubungan kedua negara dimulai dengan saling curiga karena
warisan lama dan ketakutan Indonesia untuk “diakali” oleh Singapura. Akan
tetapi setelah lebih dari dua puluh lima tahun Indonesia membangun, akhirnya
tumbuh hubungan yang didasarkan atas kesadaran kedua
belah pihak dan adanya
sifat saling membutuhkan yang nampak dari banyaknya pembangunan proyek bersama
dan besarnya investasi Singapura di Indonesia.
Semenjak krisis
terjadi, berbagai peristiwa yang kurang menguntungkan telah mewarnai hubungan
kedua negara, baik di masa presiden Habibie (munculnya istilah little red dot),
maupun masa presiden Abdurrahman Wahid (pernyataan untuk menghentikan
penyediaan air meskipun Indonesia tidak pernah menyuplai air untuk Singapura).
Sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, hubungan bilateral mereka cenderung
membaik, meskipun juga diwarnai dengan berbagai kejadian dan peristiwa yang
dapat mengganggu eratnya hubungan kedua negara. Sejak tampilnya pemerintahan
baru di Indonesia dan Singapura pada tahun 2004, hubungan bilateral
Indonesia-Singapura mengindikasikan perkembangan yang lebih positif dan saling
konstruktif. Saling kunjung antar kepala pemerintahan kedua negara dan pejabat
tinggi lainnya juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Indikasi positif
ini juga telah mendorong pengembangan sektor kerja sama baru yang saling
menguntungkan dan kemajuan upaya penyelesaian outstanding issues. Pertemuan
informal presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura, Lee Hsien Loong,
di Bali pada Oktoer 2005 adalah untuk memenuhi usulan PM Singapura. Kedua
kepala pemerintahan ini sepakat memparalelkan perundingan tiga perjanjian kerja
sama yaitu perjanjian kerja sama pertahanan, perjanjian ekstradisi, dan
perjanjian counter-terrorism.
Indonesia-Vietnam
Hanya sedikit
bangsa-bangsa di dunia yang kemerdekaannya diperoleh dengan perjuangan
bersenjata dan diplomasi. Dua di antaranya adalah Indonesia dan Vietnam. Wajar
jika pada masa pemerintahan kedua Bapak Bangsa, terjadi hubungan “emosional”
antara Indonesia (di bawah Soekarno) dengan Vietnam (di bawah Ho Chi Minh).
Hubungan diplomatik
RI-Vietnam ditandai dengan pembukaan Konsulat RI di Hanoi pada 30 Desember
1955, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Kedutaan Besar RI pada 10 Agustus
1964. Hubungan RI-Vietnam memasuki tataran baru dengan ditandatanganinya
"Declaration on the Framework of Friendly and Comprehensive Partnership
Entering the 21st Century” pada saat kunjungan resmi Presiden RI Megawati
Soekarno Putri ke Hanoi, 25-27 Juni 2003. Kedua negara telah menyepakati untuk
menyusun Plan of Action (PoA) Deklarasi Kemitraan Komprehensif RI-Vietnam yang
berisikan arah dan sasaran hubungan bilateral kedua negara.
Berdasarkan data
statistik Departemen Perdagangan RI, nilai perdagangan bilateral RI-Vietnam
pada bulan Januari-Desember 2008 berjumlah US$ 2,390 milyar. Kementerian
Perdagangan Vietnam telah menargetkan ekspor Vietnam ke Indonesia pada tahun
2010 mencapai US$ 1,75 milyar.
Dalam rangka
meningkatkan kerjasama budaya pun, Vietnam bersama-sama dengan Myanmar,
Kamboja, Laos dan Thailand juga telah ikut berpartisipasi pada serangkaian
kegiatan bertajuk “Cultural Heritage Tourism Cooperation – Trail of
Civilization” yang diadakan Indonesia di Yogyakarta, 28-30 Agustus 2006.
Pertemuan tersebut menghasilkan Borobudur Declaration dan Borobudur Plan of
Action. Deklarasi dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pariwisata,
khususnya dalam hal wisata religi Agama Budha.
Pemecahan Masalah
Kamboja
Pecahnya konflik antara
Hun Sen dan Norodom Ranaridh bukan merupakan sebuah kejutan. Hal tersebut telah
dapat diperkirakan ketika keduanya diangkat menjadi perdana menteri I dan II
Kerajaan Kamboja sesuai dengan hasil pemilu 1993. Keduanya berbeda visi
mengenai masa depan Kamboja dan diakhiri dengan konflik bersenjata yang terjadi
pada tanggal 2 dan 5 Juli 1997 di bawah kemenangan Hun Sen.
Kendati bentrokan
bersenjata sudah mereda, masih terdapat potensi konflik. Pertemuan khusus
menteri luar negeri ASEAN pada 10 Juli 1997 memutuskan untuk menunda
keanggotaan Kamboja dalam ASEAN. Mereka juga menetapkan bahwa negara-negara
ASEAN siap untuk untuk membantu usaha penyelesaian damai persengketaan di Kamboja
kendati belum dapat memutuskan apakah pengambilan kekuasaan yang dilakukan
Hansen adalah ilegal.
Masalah hubungan
Kamboja dan Thailand yang tengah memanas saat ini menurut juru bicara
Departemen Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, merupakan masalah diplomatik
yang biasa terjadi dalam hubungan bertetangga. Indonesia, sebagai salah satu
pendiri ASEAN, mengusulkan bahwa keduanya akan menemukan jalan tengah terhadap
permasalahan tersebut tanpa konfrontasi sebagai sesama anggota negara ASEAN.
Masalahnya adalah
Kamboja setelah penyelesaian berdasarkan persetujuan Paris dan Peilihan Umum
1993 sudah dianggap sebagai negara berdaulat. Maka permintaan ASEAN terhadap
Indonesia dan Prancis sebagai mantan ketua bersama konferensi internasional
tentang Kmboja, jelas mengindikasikan lemahnya penerapan kebijakan ASEAN
tentang non-inervensi diantara negara-negara ASEAN sendiri sebab permintaan
intervensi harus didasarkan oleh permintaan kepala negara itu sendiri, Raja
Sihanouk dan Hansen sebagai Perdana Menteri.
Disinilah Indonesia
dituntut menunjukkan sikap tegas dalam mempertahankan credo non-intervensinya
agar tidk terjerumus dalam sengketa permasalahan politik Kamboja sementara
negara tersebut tidak memintanya. ASEAN seharusnya juga meyakinkan
negara-negara ASEAN yang memiliki kepentingan atas Kamboja untuk mempertahankan
kebijakan non-intevensi ASEAN terhadap Kamboja. Sebab akan membuka kesempatan
negara-negara lain dalam melakukan campur tangan dengan kemelut politik
negara-negara lainnya yang justru dapat menyulitkan negara itu dalam
mempertahankan dan meningkatkan persatuan dalam negerinya.
Analisis
Pada dasarnya, hubungan
Indonesia dengan negara-negara ASEAN amat ditentukan oleh kondisi Indonesia
sendiri, yaitu tentang bagaimana kondisi perekonomian, budaya, dan kemanan
Indonesia, di mana kondisi-kondisi tersebutlah yang menentukan bagaimana sikap
Indonesia terhadap Negara-negara ASEAN, apakah saling melakukan kerja sama,
atau bahkan konfrontasi, dan sebagainya.
Hanya Indonesia yang kuat yang dapat memaksakan bangsa-bangsa lain untuk
peduli dan menghormati legalitas dalam hubungannya dengan Indonesia sehingga
terwujud hubungan yang harmonis. Selama Indonesia kacau, lemah, kurang mampu
baik moral dan material, dan rakyatnya kurang pendidikan, miskin dan mudah diperdaya
serta disuap dalam segala bidang, bangsa-bangsa itu memandang hubungannya
dengan Indonesia terutama dari sudut bagaimana memperoleh keuntungan maksimal
dari kelemahan Indonesia itu.
Namun, terlepas dari
semua itu, Indonesia pada dasarnya berusaha menjalin hubungan baik dengan
Negara-negara tersebut dengan menciptakan kerja sama, saling mendukung,
menghormati, dan menghargai, serta saling memelihara perdamaian. Indonesia,
seperti halnya negara-negara lain, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan atau
kepentingan negaranya tanpa bantuan dari negara lain, baik dalam segi ekonomi,
keamanan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Indonesia pun berusaha bagaimana
agar kepentingan negaranya tersebut dapat terpenuhi dengan mengadakan hubungan
yang baik dengan Negara-negara ASEAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar