MAKALAH
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa
Hak Atas Tanah
Melalui Mediasi Di Pengadilan
Nama : Martilah
Nim : GAC114 003
Jurusan : Ilmu Pemerintahan (A)
Mata Kuliah : Politik dan Hukum
Pertanahan
Dosen Pengampu : Darwis L, Rampay, SH,. MH
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
PALANGKARAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan”. Saya mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Politik dan Hukum Pertanahan yang sudah
membantu untuk memberikan pengarahan terhadap makalah ini.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari bentuk
penyusunan dan materinya. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih
baik dan sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi para
pembaca.
Palangka
Raya, 10 Desember 2015
Martilah
DAFTAR ISI
Cover.............................................................................................................................. i
Kata Pengantar.............................................................................................................. ii
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................... 6
Bab II
Pembahasan
2.1 Bentuk mediasi
dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui
Peradilan umum....................................................................................................... 7
2.2 Mekanisme
Penyelesaian sengketa Hak atas tanah melalui mediasi
Di pengadilan......................................................................................................... 15
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 20
3.2 Saran...................................................................................................................... 20
Daftar Pustaka............................................................................................................. 21
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Secara
konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah diberikan
penjelasan yang tertera bahwa bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Dalam rangka mempelancar pengurusan, penggunaan serta
pemanfaatan kekayaan negara, maka seluruhnya diserahkan kepada negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yang bertindak selaku Badan Penguasa
berdasarkan wewenang dari rakyat serta mempergunakan wewenang itu untuk
sebesar-besarnya kepada kemakmuran rakyat.
Adapun
arti dikuasai atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun jugs
dalam arti yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam
arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan
pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan tanah miliknya
untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah dengan
tanda bukti segel sebagai pernyataan jual bell tanah antara pemilik (penjual)
dengan pembeli.
Dalam
Undang-Undang Pokok Agraria sendiri yang merupakan peraturan bidang pertanahan,
memang mengandung 2 (dua) dimensi, yaitu :
1.
Hak Publik yang merupakan kewenangan
negara berupa hak "menguasai" dari negara, hal ini terkait dalam
pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
2.
Hak Perorangan berupa hak-hak yang dapat
dipunyai/dimiliki seseorang untuk menjual, menghibahkan, dan lain-lain.
Hak
menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang
untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut.
b.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.
Menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang‑orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Menurut
Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak Menguasai Negara hanya
memberi wewenang kepada negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan tanah, hubungan antara negara dengan tanah sangat
mempengaruhi dan menentukan isi peraturan perundang-undangan yang mengatur
hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan
tanah ulayat serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari
hubungan-hubungan hukum tersebut.
Hukum
yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk
pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanah
mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas tanah berisi
serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang hak tersebut
dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu
yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak ukur dan
kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.
Hubungan
hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai tanah oleh negara.
Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak
ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak
perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara harmonis dan
seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling merugikan.
Sengketa
tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak
publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak
publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan
Nasional, sedangkan yang menyangkut hak perorangan dalam proses peralihan
haknya. Sebagai gambaran, pada saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan
bisnis properti terpuruk, maka kasus-kasus yang timbul dan sering mencuat ke
permukaan adalah berkaitan dengan tanah baik itu mengenai penggusuran tanah
untuk keperluan pembangunan, perumahan maupun industri yang didominasi oleh
pihak-pihak yang kuat terhadap pihak-pihak yang lemah ekonominya.
Tanah
sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik individu antar
sesama terlebih dalam hal kepentingan masing-masing yang berbeda, hal-hal
inilah yang menimbulkan dan mendatangkan dampak baik itu secara ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Secara ekonomis, sengketa tanah yang timbul telah
memaksa pihak-pihak yang saling terlibat untuk mengeluarkan biaya dimana
semakin lama proses penyelesaian sengketa/konflik ini maka semakin besar pula
biaya yang hams dikeluarkan. Dalam hal ini dampak kelanjutan yang berpotensi
terjadi adalah penurunan produktifitas kerja atau usaha disebabkan karena
selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang bersengketa hams mencurahkan
tenaga dan pikiran dan meluangkan waktunya secara khusus. Disatu sisi dalam
masyarakat yang pluralisme yang mempunyai berbagai macam budaya adat dan
istiadat di Indonesia, mereka yang masih memegang teguh dan mempercayai
kebiasaan dari warisan nenek moyang/leluhur mereka dalam bersosialisasi atau
bermasyarakat dan amat begitu kokoh dan penuh dengan kekeluargaan yang tinggi
antara sesamanya sehingga dalam melakukan segala hal mengenai jual beli mereka
masih menggunakan sistem tukar-menukar hasil tanah atau hasil kebun (barter)
hal ini masih melekat disebagian kecil masyarakat kita di daerah pedalaman dan
hal ini pula yang sebagian besar terjadi di dalam masyarakat kita dalam jual
beli tanah yang masih menggunakan surat bukti atas hasil dari transaksi jual
beli tanah dari si pemilik tanah dengan si pembeli tanah yang biasa disebut
dengan segel.
Segel
atau surat bukti jual beli dari penjual ke pembeli tanah tersebut masih
merupakan suatu tanda sahnya jual beli di antara pars pihak yang berkepentingan
tetapi surat bukti ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat jika tidak
diterbitkan sertifikat tanah yang merupakan bentuk dari surat kepemilikan resmi
dari pemerintah bahwa tanah tersebut telah tercantum dan terdaftar di kantor
pertanahan setempat dimana letak tanah itu berada. Hal ini yang sering
menimbulkan konflik di masyarakat kita di Indonesia bahwa tanah yang mereka
miliki dari pembelian mereka atas tanah tersebut ternyata diserobot oleh pihak
lain yang juga mempunyai kepentingan di atas tanah itu, akibatnya timbullah
konflik/ sengketa tanah mengenai perebutan status kepemilikan yang sah atas
tanah tersebut dan hal ini amat sangat memprihatinkan di kalangan masyarakat
kita, karena masih minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia akan pentingnya
pendaftaran tanah yang mereka miliki agar dapat terhindar ataupun dapat
mengurangi resiko tumpang tindih kepemilikan atas tanah yang sama.
1) Untuk
menghindari sengketa suatu peralihan hak atas tanah dalam hal jual beli
haruslah dipenuhi syarat formil dan syarat materiil yaitu :
Syarat Formil harus ditempuh sesuai
dengan prosedur dan syarat yang ditetapkan yaitu dibuat oleh/ dihadapan PPAT
sebagai pejabat umum yang ditunjuk dan juga hams dipenuhi pula syarat
administrasi lainnya seperti diserahkannya sertifikat asli bagi yang sudah
bersertifikat ataupun bukti lain seperti segel dan surat bukti lainnya.
Syarat Materiil :
a.
Penjual adalah orang yang berhak atas
tanah yang akan dijualnya
b.
Pembeli adalah orang yang berhak untuk
membeli hak atas tanah yang akan dibelinya.
c.
Tanah yang akan dijual (boleh diperjual
belikan dan tidak dalam keadaan sengketa)
Nomor
1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif dan nomor 3 sebagai syarat objektif.
Penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam bidang perdata, yang pada
umumnya ditempuh adalah melalui jalur peradilan umum sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang disebutkan bahwa kewenangan dari
peradilan umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal-Pasal sebagai berikut :
a.
Pasal 2 menyatakan bahwa Peradilan Umum
adalah salah satu pelaksana kekuatan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya.
b.
Pasal 6 Pengadilan terdiri dari :
·
Pengadilan Negeri yang merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama
·
Pengadilan Tinggi yang merupakan
Pengadilan Tingkat Banding
c.
Pasal 50, Pengadilan Negeri bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
perdata di tingkat pertama.
d.
Pasal 51 :
·
Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang
mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
·
Pengadilan tinggi juga bertugas dan
berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar
pengadilan negeri di daerah hukumnya.
Ini
merupakan suatu jalan tempuh penyelesaian melalui jalur litigasi yang memakan
waktu yang panjang dan lama disamping itu juga memakan biaya yang banyak dan
ini merupakan hambatan bagi para pihak yang ingin mencari keadilan, terlebih
bagi masyarakat yang berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak
mampu membayar biaya perkara. Maka hendaknya sengketa-sengketa pertanahan yang
terjadi diselesaikan secara komprehensif dan terintegral dengan lebih
mengedepankan prinsip win-win solution melalui jalur non-litigasi.
Begitu
pula dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat yang lebih
dikenal dan telah berakar di dalam masyarakat Indonesia sebagai bentuk
penyelesaian yang telah hidup dan dihormati dalam pergaulan antar sosial,
pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional melalui
musyawarah dan mufakat lebih ditekankan kepada untuk menjaga keharmonisan
kelompok atau persatuan dan kesatuan bangsa, penyelesaian sengketa ini memiliki
ragam bentuk misalkan mediasi atau arbitrase, mediasi dipandang lebih efektif
sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak.
Penyelesaian
sengketa melaui ADR secara implisit dimuat dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2006
Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam struktur organisasi BPN dibentuk
satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan dan BPN telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun
2007 dan dalam menjalankan tugas tersebut BPN melakukan upaya antara lain
melalui mediasi setelah berlakunya Perpres Nomor 10 Tahun 2006.
Pada
era baru yang dikatakan sebagai zaman reformasi layaknya saat ini banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi, dalam arti perkembangan di masyarakat yang
semakin lama semakin maju, perubahanperubahan di atas baik itu di bidang
sosial, ekonomi, budaya, dan politik serta hukum khususnya dalam bidang
investasi. Imbas dari adanya perkembangan dalam bidang hukum berdampak pula
pada makin meningkatnya kesadaran hukum dimasyarakat dalam berinteraksi antar
sesama.
Kesadaran
ini lah yang melahirkan adanya suatu proses hukum yang dilakukan oleh
masyarakat jika terjadi sengketa dengan menggunakan mediasi untuk menyelesaikan
permasalahan agar dapat mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi
kedua belah pihak dengan melalui jalur perundingan. Dalam perkembangannya
penyelesaian sengketa kemudian digunakan istilah Dispute Resolution (DR) atau
mekanisme Penyelesaian Sengketa (MPS) pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang tata cara penyelesaian sengketa melalui ADR yakni sebagai lembaga
penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui predur yang disepakati
para pihak dengan penyelesaian diluar pengadilan salah satunya dengan cara
mediasi.
Latar
belakang adanya proses mediasi ialah dengan penyelesaian diluar pengadilan
masyarakat dapat lebih cepat ketimbang dengan berperkara di pengadilan yang
memakan waktu yang lama, selain itu biaya yang mahal dapat ditekan, selain itu
terkadang putusan di pengadilan tidak menyelesaikan perkara. Tidak ada putusan
pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa ke arah penyelesaian
masalah dimana putusan pengadilan bukan sebagai pemberi solusi yang terbaik di
antara para pihak yang bersengketa karena menimbulkan pemenang disatu sisi dan
pihak yang kalah di sisi lainnya. Sehingga bukan kedamaian dan ketenteraman
yang timbul, tetapi malah menimbulkan kebencian.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yuridis yang akan
dibahas dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk mediasi dalam
penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui Peradilan Umum?
2.
Bagaimana mekanisme penyelesaian
sengketa hak atas tanah melalui mediasi di pengadilan?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah
Tujuan penelitian
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui bentuk mediasi dalam
penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui Peradilan Umum.
2.
Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian
sengketa hak atas tanah melalui mediasi di pengadilan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Bentuk Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Peradilan Umum.
Di
Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai atau lengkap mengenai
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa alternatif penyelesaian
sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati oleh Para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Sengketa
biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh
pihak lain. Hal ini diawali dengan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif
dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok.
Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflik interest.
Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak
kedua dan apabila tidak ada titik temu penyelesaian maka ini dikatakan sebagai
sengketa yang secara garis besar terdapat dua kubu / pihak yang mempunyai pendirian
masing-masing.
Sengketa
tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak
publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak
publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional
sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan yang menyangkut hak perorangan
dikarenakan proses peralihan hak.
Sengketa tanah yang
timbul antara lain terkait dengan warisan, penerbitan sertifikat, perbuatan
hukum peralihan hak atas tanah (jual beli, hibah), dan pembebasan tanah untuk
kepentingan umum. Sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum dapat dibagi
menjadi 5 (lima) kelompok:
1.
Sengketa disebabkan oleh kebijakan
pemerintah pada masa Orde Baru
2.
Tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan tentang sumber daya agrarian.
3.
Tumpang tindihnya penggunaan tanah
4.
Kualitas sumberdaya manusia dari aparat
pelaksana, dan
5.
Berubahnya pola pikir masyarakat
terhadap penguasaan tanah.
Dalam
persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan yang
umumnya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan dan hat ini
berakibat dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat. Agar terciptanya proses
penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang hams dipenuhi adalah kedua
belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk
mendengar dan hak untuk di dengar sehingga dapat tercipta titik temu dari
penyelesaian masalah/sengketa.
Ada 3 (tiga) faktor utama
yang memengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu:
1.
Kepentingan (intersect).
2.
Hak-hak (rights).
3.
Status Kekuasaan (power).
Para
pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya
dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan. Dalam
proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan
bersikeras dan bersikukuh mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas. Latar
belakang lahirnya ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah dikarenakan :
1.
Mengurangi kemacetan di pengadilan.
Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan
seringkali berkepanjangan sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering
memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2.
Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam
proses penyelesaian sengketa.
3.
Memperlancar serta memperluas akses ke
pengadilan.
4.
Memberikan kesempatan bagi tercapainya
penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh
semua pihak dan memuaskan.
ADR
merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan padananya dalam Bahasa
Indonesia. Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai
alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan penyelesaian
sengketa melalui cara perundingan atau mediasi ini mempunyai kelebihan bila
dibandingkan dengan menempuh cara berperkara di depan persidangan yang memakan
waktu lama dan biaya yang tidaklah sedikit disamping itu adanya krisis
kepercayaan masyarakat akan kemadirian lembaga peradilan sehingga orang enggan
menyelesaikan masalah melalui jalur hukum dan oleh karena itu mereka mencari
jalur alternatif penyelesaian sengketa atau konflik yang terjadi dengan harapan
dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tanpa menimbulkan perpecahan
ataupun rasa kurang puas akan hasil dari putusan pengadilan, dan salah satu
cara yang dipergunakan adalah dengan menempuh jalur mediasi.
Mediasi
dan perdamaian ini diterbitkan sebagai salah satu upaya untuk mensosialisasikan
pentingnya pemberdayaan lembaga damai yang seharusnya dimaksimalkan oleh hakim
sebagai penegak hukum dalam perkara perdata yang memiliki banyak keuntungan
dalam menggunakan atau menempuh jalur mediasi sebagai salah satu alternatif
menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. Keuntungan itu antara lain
sengketa yang terjadi antara para pihak dapat diselesaikan dengan prinsip
win-win solution tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik antara
yang bersengketa tetap dapat dipertahankan dan terhindar dari publikasi
berlebihan yang dapat mempengaruhi "performance" pihak-pihak yang
bersengketa Dalam mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa diluar proses
peradilan pada umumnya, penyelesaian lebih ditekankan pada kebaikan semua
pihak.
Upaya
damai adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (pasal 1851 KUH
Perdata). Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan Lembaga Damai yang
sebelumnya telah diatur dalam Pasal 130. Diatur Pula sebelumnya di dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang didalamnya kita dapat temui sekurang-kurangnya ada enam macaw
tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :
1.
Konsultasi
2.
Negosiasi
3.
Mediasi
4.
Konsiliasi
5.
Pemberian Pendapat Hukum; dan
6.
Arbitrase
Pengaturan
mengenai Mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Pasal 6 ayat
(4), Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai
mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan
oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999.
Menurut rumusan dari
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut bahwa atas
kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seoarang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator sebagai pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga
independen yang sifatnya netral atau tidak memihak dan berfungsi sebagai
mediator dan berkewajiban melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada
kehendak dan kemauan para pihak.
Dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, pengertian mediasi disebutkan pada
Pasal 1 butir 6 yaitu Mediasi ialah penyelesaian sengketa melaui proses
perundingan para pihak dibantu mediator (pihak yang bersifat netral dan tidak
memihak (Pasal 1 butir 5), yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediasi itu sendiri dalam praktek
di masyarakat memiliki 3 (tiga) jalur penyelesaian yang berbeda satu-sama lain
diantaranya melalui mediasi adat, mediasi melalui Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dan mediasi di pengadilan.
Musyawarah
dan mufakat adalah penyelesaian sengketa yang telah berakar dan membudaya yang
telah hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang memiliki ragam
suku dan budaya sosial, penyelesaian melalui cara musyawarah antara pihak di
dalam masyarakat kita lebih ditekankan dan sangat dihormati dan dihargai untuk
menjaga keakraban kesatuan masyarakat serta keharmonisan dalam bermasyarakat
yang biasanya dalam bentuk lembaga adat contohnya di daerah Sumatera Barat
penyelesaian sengketa telah diperkuat melalui peraturan daerah yang menekankan
terlebih dahulu penyelesaian melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN), apabila para
pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui lembaga adat atau menyerahkan
kepada kepala adat sebagai salah satu orang yang mempunyai wawasan dan
pemahaman akan sejarah dan perubahan yang terjadi, bijaksana, memiliki
orang-orang yang dihormati dalam masyarakat yang memiliki kedudukan penting di
dalam masyarakat. Permintaan tersebut disampaikan baik secara lisan atau
tulisan kepada lembaga adat atau kepala adat untuk meminta pertolongan dalam
menyelesaikan sengketa kaum atau masyarakat adat, misalkan dengan menggambarkan
secara singkat tentang sengketa tersebut, menyebutkan pihak-pihak yang
terlibat, dan permintaan memohon bantuan penyelesaian dengan musyawarah antara
para pihak, sehingga para tokoh adat menjadi pihak penengah dalam musyawarah
tersebut.
Dengan
merujuk pada Perpres No.10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN)
dalam penyelesaian sengketa dan konflik mengenai pertanahan melalui Keputusan
Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan, dalam menjalankan dan melaksanakan tugas ini
Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan upaya antara lain melalui mediasi.
Sedangkan dalam
penyelesaian perkara di peradilan hams memegang teguh pada asas-asas peradilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan dan salah satu bentuk pelaksanaan dari
asas-asas peradilan diantaranya adalah dengan upaya damai oleh hakim yang
memeriksa perkara-perkara perdata yang mana bersifat imperatif dan sudah
merupakan tugas penegak hukum untuk mengusahakan semaksimal mungkin agar para
pihak dapat berdamai dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara
mereka.Adapun pola umum dari mediator sebagai pihak ketiga di dalam rangka
menyelesaikan sengketa perdata, mediator tersebut dapat dipilih oleh pihak yang
bersengketa ataupun dapat Pula ditunjuk oleh hakim majelis dalam perkara yang
sedang ditanganinya, mediator ini mempunyai kewajiban untuk bertemu atau
mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok
persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak sebagai pendalaman atas kasus
apakah Jaya. Berdasarkan dari informasi yang diperoleh lalu kemudian mediator
dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan masing-masing pihak
yang bersengketa dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian yang
kemudian dikomunikasikan kembali kepada para pihak secara langsung.
Mediator
harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif sehingga dapat
tercipta kompromi diantara para pihak atau kedua belah pihak agar semaksimal
mungkin menghindari terjadinya saling tuduh dan saling menyalahkan dan
berakibat gagalnya mediasi dan mengusahakan dapat tercapainya kesepakatan yang
dapat saling memberikan keuntungan dan rasa puas diantara kedua pihak yang
bersengketa.
Apabila dalam mediasi
tersebut telah didapat kesepakatan bersama maka mediator kemudian menyusun
kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan
membantu pelaksanaan dari kesepakatan tertulis yang telah ditandatangani oleh
kedua belah pihak tersebut.
Bagi
bangsa Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari masyarakat yang majemuk dan
beraneka ragam budaya penyelesaian konflik atau sengketa secara musyawarah
mufakat telah membudaya yang hidup dan dihormati dalam lalu lintas pergaulan
sosial, hanya saja pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat
tradisional dengan melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga
keharmonisan kelompok dan kepentingan dari pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam
rangka mewujudkan proses sederhana dan biaya ringan sesuai dengan asas Hukum
Acara Perdata, Pasal 130 MR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat
diintensifkan dengan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara.
Hal ini dilatarbelakangi oleh menumpuknya jumlah perkara yang masuk dan belum
terselesaikan khususnya di Mahkamah Agung sehingga memperlambat kerja dan
proses peradilan sehingga kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
peradilan, Persoalan yang menjadi beban pengadilan selama ini, terutama pada
tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang masuk, yang
setiap tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat.
Sementara
hakim yang harus menyelesaikan perkara tersebut, cara kerjanya sangat terbatas
sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Berbagai
solusi telah diupayakan untuk mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak
perkara yang diputus, tetapi hasilnya tidak memuaskan.dan untuk mengatasi hal
tersebut maka dengan mengoptimalkan lembaga perdamaian seperti yang telah
ditegaskan dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg yaitu dengan menerbitkan aturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan maka
setidaknya diharapkan dapat mengurangi perkara di pengadilan sehingga dapat
menyelesaikan perkara dengan lebih cepat dan efesien.
Belum lagi pada era
perdagangan bebas yang rencananya akan dimulai pada tahun 2016, kemungkinan
tingkat sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan proses perekonomian
negeri ini akan menjadi meningkat. Sengketa itu selain kualitas dan
kuantitasnya bertambah, juga aneka macamnya juga akan bertambah. Tidak hanya
terjadi antar kepentingan di dalam negeri, tetapi juga mencakup kepentingan
dengan pihak luar secara internasional. Kalau penyelesaian perkara yang masuk
ke pengadilan hanya memakai cara-cara yang konvensional, maka tidak dapat
terbayangkan betapa banyak beban pengadilan untuk memutus perkara yang masuk.
Kalau
tidak terjadi perubahan tentang proses penegakan hukum di Indonesia, maka akan
sulit untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Padahal prioritas utama
pebisnis asing adalah kepastian hukum. Kalau ada sengketa antara pihak-pihak
yang berkepentingan, hams ada penyelesaian secara cepat dan jelas. Ini
merupakan satu tantangan bagi pengadilan di mana suatu penegakan hukum hams
dilakukan secara cepat dan tuntas. Apabila tidak demikian, maka pebisnis asing
bukan hanya tidak mau datang ke Indonesia, tetapi yang sudah ada di Indonesia
bisa-bisa hengkang ke luar negeri.
Jika
melihat kembali kepada aturan khusus yang mengatur ADR diantaranya yaitu pada
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Penyelesaian
Sengketa yang isinya sengketa atau beda pendapat diselesaikan oleh para pihak
melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri dengan
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari dengan dibantu oleh seorang atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator
dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis dan apabila tidak
berhasil mencapai kata sepakat maka para pihak dapat menghubungi lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam pasal tersebut
dapat dilihat tahapan mediasi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang pada
intinya apabila tidak ditemukan kata sepakat atau tidak tercapai kesepakatan
maka para pihak yang bersengketa dapat menghubungi atau menyelesaikan melalui
lembaga arbitrase, hal ini justru semakin memperlambat waktu penyelesaian suatu
sengketa.
Peraturan
Mahkamah Agung yang setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur
Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari
Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang
terkait dengan proses berperkara di Pengadilan dengan Peraturan mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 yang secara fundamental telah merubah praktek peradilan di
Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata.
Berdasarkan
pertimbangan dari Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2008 bahwa mediasi
merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi
ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen
efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping
proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) dengan hukum acara yang
berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk
menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan
Negeri sehingga cukup waktu untuk mempelajari.
Meskipun
demikian ada pola umum yang diikuti dan dijalankan oleh mediator dalam rangka
penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara, yang
tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk
mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok
persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi
yang diperoleh, bare kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara,
kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa.
Secara
hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang
mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengerti secara
konperhensip mengenai mediasi, perlu dipahami tentang tiga aspek dari mediasi :
1.
Aspek urgensi / motivasi
Urgensi
dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai
dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal
yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara
kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk
mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai
atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila
bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal
yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang
mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak
yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk
menfilter persoalanpersoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai
mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka.
2.
Aspek prinsip
Secara
hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang
mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur
penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi
menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal
154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara
yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara
mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.
3.
Aspek substansi
Yaitu
bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang hams dilalui untuk setiap
perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang
hams dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu
diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya
diperiksa.
` Di masa depan, pengadilan diharapkan
bisa menjadi filter dari persoalan-persoalan dan pertikaian yang terjadi di
dalam masyarakat sehingga masyarakat menjadi tenteram dan damai, bukan malah memunculkan
masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan
pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada di dalam kondisi konflik, maka
secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi terganggu yang pada
gilirannya akan memacetkan rencana pemberdayaan perekonomian masyarakat. Salah
satu yang menjadi pertanyaan adalah berhubungan dengan asas peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Banyak pertanyaan dari rekan-rekan
prakisi hukum, apakah pelaksanaan mediasi nantinya dalam setiap perkara perdata
yang masuk ke pengadilan tidak akan mengganggu asas peradilan dilaksanakan
dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Memang untuk pelaksanaan mediasi
butuh waktu, butuh biaya yang akhirnya menjadi tidak sederhana. Apabila
diperhatikan secara sepintas, mungkin jawabannya pasti ya. Artinya proses
mediasi akan mengganggu proses peradilan yang hams dilakukan secara sederhana,
cepat dan biaya ringan. Tetapi apabila dikaji secara mendalam, maka akan
ditemukan suatu pencerahan yang luar biasa dari praktek mediasi ini. Memang,
karena mediasi merupakan hukum acara bam dalam praktek peradilan di Indonesia,
maka pada awal pelaksanaannya seakan menjadi beban dalam proses berperkara di
pengadilan. Padahal kalau nanti mediasi sudah menjadi praktek yang mapan dan
dijalankan secara profesional, maka mediasi akan merupakan alternatif yang
ideal bagi proses berperkara di pengadilan.
2.2
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan.
Dalam
pemeriksaan perkara sengketa perdata yang diantaranya mengenai hak atas tanah,
hakim yang mengadili wajib mengusahakan perdamaian antara kedua belah
berperkara. Dasar hukumnya, Pasal 154 R.Bg atau Pasal 130 H1R:
1.
Apabila pada hari yang telah ditentukan,
kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan Ketua sidang
berusaha memperdamaikan mereka.
2.
Apabila perdamaian tercapai pada waktu
persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum
akan melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian itu berkekuatan dan dijalankan
sebagai putusan yang biasa.
3.
Terhadap putusan sedemikian itu tidak
dapat dimohonkan banding.
4.
Dalam usaha untuk memperdamaikan kedua
belah pihak, diperlukan bantuan seorang juru bahasa.
Berdasarkan
ketentuan di atas, pada hari sidang pertama apabila kedua belah pihak hadir,
pada saat itulah hakim dapat berperan secara aktif. Untuk keperluan perdamaian
hakim dapat menunda persidangan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah
pihak berperkara. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil
mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim dipersidang hasil perdamaian
yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangah yang ditulis di atas
kertas bermaterai atau acte van darling.
Berdasarkan
adanya perdamaian tersebut maka hakim menjatuhkan putusannya atau acte van
vergelijk, yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti
putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dapat dimungkinkan. Usaha
perdamaian terbuka sepanjang pemeriksaan dipersidangan. Dengan dicapainya
perdamaian maka proses pemeriksaan perkara berakhir.
Surat Edaran Mahkamah
Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 menggariskan kebijakan internal yang isinya :
1.
Hakim atau Majelis yang menyidangkan
perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan
ketentuan Pasal 130 H.I.R atau Pasal 154 Rbg, tidak hanya sekedar formalitas
menganjurkan perdamaian.
2.
Hakim yang ditunjuk dapat bertindak
sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat, dan
pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah
perdamaian.
3.
Pada tahap selanjutnya apabila
dikehendaki para pihak yang berperkara, Hakim atau pihak lain yang ditunjuk
dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang
bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan
dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak
dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian
dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan
atau win-win solution.
4.
Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator
atau mediator oleh para pihak tidak dapat menjadi Hakim majelis pada perkara
yang bersangkutan untuk menjaga objektifitas.
5.
untuk pelaksanaan tugas sebagai
fasilitator, maupun mediator kepada Hakim yang bersangkutan diberikan waktu
paling lama tiga bulan, dan dapat diperpanjang, apabila ada alasan untuk itu
dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk
waktu penyelesaian perkara sebagamana dimaksud dalam SEMA:No.6 Tabun 1992.
6.
Persetujuan para pihak dituangkan dalam
persetujuan tertulis dan ditanda tangani, kemudian dibuatkan Akte Perdamaian
atau Dading, agar dengan Akta Perdamaian itu para pihak dihukum untuk menepati
apa yang disepakati atau disetujui tersebut.
7.
Keberhasilan penyelesaian perkara
melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian atau reward bagi hakim yang
menjadi fasilitator atau mediator.
8.
Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh
hakim tersebut tidak berhasil, Hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Mejelis dan pemeriksaan perkara dapat dilaniutkan
oleh majelis Hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai
selama proses pemeriksaan berlangsung.
9.
Hakim yang menjadi fasilitator maupun
mediator wajib membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Negeri secara teratur.
10.
Apabila terjadi proses perdamaian, maka
proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara
melebihi ketentuan 6 bulan.
Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2003, tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan,
yang isinya mengatur tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediator
hakim tunggal yang di tunjuk oleh Ketua Pengadilan tingkat pertama. Hakim
mediator di sini adalah hakim yang bersifat netral dan tidak memihak, yang
berfungsi membantu para pihak bersengketa dalam mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama menurut Peraturan Mahkmah Agung tersebut wajib untuk lebih
dahulu dise1esaikan mela1ui perdamaian dengan bantuan mediator. Dalam
melaksanakan fungsinya mediator wajib mentaati kode etik mediator. Penyelesaian
sengketa melalui mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung tersebut ada dua
tahap, yaitu :
1.
Tahap Pra Mediasi yang diatur dalam
Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan yaitu : pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belch pihak
yang hadir diberitahu akan kewajiban untuk menumpuh terlebih dahulu jalur
mediasi dan hakim hares menjelaskan prosedur mediasi dan berusaha mendorong dan
memotivasi para pihak atau kuasa hukum untuk berperan aktif di dalam proses
mediasi intinya para pihak yang berperkara lebih dahulu menuntut mediasi, dan
hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan
kepada para pihak menempuh proses mediasi. Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari
kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib
berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh
pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan termasuk biaya yang akan timbul
akibat pemilihan mediator.
2.
Tahap Mediasi yang diatur dalam Pasal 13
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, yang intinya dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pemilihan atau pemilikan mediator yang disepakati, para pihak wajib menyerahkan
fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang
diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para
pihak. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua Majelis Hakim. Jika
mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan di tanda tangani oleh
para pihak dan mediator. Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara
atau pernyataan perkara telah selesai. Para pihak wajib menghadap kembali pada
hakim yang mengadili perkara, pada hari siding yang telah ditentukan untuk
memberitahukan telah tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, hakim mengukuhkan ksepakatan
sebagai akta perdamaian.
Apabila
mediasi tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu maksimal 40 hari, mediator
wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim. Setiap pihak diberi kesempatan
untuk mempresetasikan suatu outline kepada mediator. Meskipun biasanya pihak
yang mengajukan kasus yang memulai presentasi. Tujuan dari presentasi ini
adalah memberikan informasi kepada mediator tentang sengketa mereka, memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk didengar dan juga memberi kesempatan kepada
setiap pihak mendengarkan kasus sengketa yang terjadi dari pihak lainnya secara
langsung.
Peran
mediator selanjutnya mengidentifikasi masalah atau hal yang sudah disepakati
bersama diantara para pihak. Hal ini akan membantu para pihak melihat aspek
positif pada permasalahan, Mediator berperan penting dalam menunjukkan beberapa
masalah yang telah disepakati para pihak yang bersengket, dalam hal yang
substantif misalnya mengenai hak atas tanah. Setelah para pihak menguraikan
semua permasalahan dari sengketa yang terjadi lalu mediator membuat struktur
untuk pertemuan mediasi, yang meliputi masalah-masalah yang diperselisihkan dan
sedang berkembang, sedang dikonsultasikan oleh para pihak, sehingga tersusun
suatu daftar isu menjadi suatu agenda.
Selanjutnya
proses mediasi akan beralih kepada tahap negosiasi, mediator mempertemukan para
pihak yang bersengketa ataupun wakil-wakil yang diberi kuasa dari para pihak
untuk berbicara langsung satu sama lainnya. Mediator berperan menjaga
kelangsungan acara mediasi, mencatat kesepahaman, meringkas atau membuat
kesimpulan, dan sekali-kali mengintervensi atau memberi jalan tengah dalam
proses komunikasi dalam mediasi. Bentuk lain dari mediasi, mediator mengatur
seluruh arah pembicaraan, langsung terlibat dalam mediasi kepada para pihak dan
wakil kuasa dari para pihak serta menawarkan solusi. Pertemuan terpisah
merupakan suatu cara atau jalan tengah dalam proses mediasi, mediator akan
memanggil pihak-pihak yang bersengketa secara terpisah baik itu pertemuan
dengan wakil kuasa dari pihak maupun dari pihak yang bersengketa itu sendiri.
Mediator mengadakan pertemuan secara terpisah berguna untuk :
1.
Menggali kasus sengketa yang terjadi
dari pihak yang satu dengan pihak yang lain agar tercipta kesepakatan.
2.
Memberikan suasana dinamis pada proses
mediasi apabila ditemukan jalan buntu dari suatu permasalahan sengketa.
Para
pihak dan kuasa hukum pihak dapat pula meminta terpisah, kuncinya mediator
mengadakan pertemuan secara terpisah antara satu pihak dengan pihak lain.
Setelah mengadakan pertemuan terpisah para pihak akan dikumpulkan kembali guna
mendiskusikan dan membuat negosiasi akhir dengan menyelesaikan sengketa dengan
lebih cermat didampingi oleh mediator sebagai pihak perantara atau pengawas
untuk mendengar hasil akhir dari mediasi yang telah mereka jalani apakah
berhasil atau tidak, disini pihak perantara atau mediator memiliki batasan
hanya sebagai perantara saja bukan pemutus hasil akhir dari mediasi para pihak,
hasil akhir mediasi ditentukan para pihak yang bersengketa.
Hasil
dari mediasi akan dituangkan dalam tulisan atau catatan sebagai nota
kesepakatan dan ditandatangani kemudian disempurnakan oleh pihak kuasa dari
para pihak yang bersengketa sehingga menjadi kesepakatan akhir. Keputusan
perdamaian itu dituangkan dalam "Akta Perdamaian" yang dibuat oleh
hakim atau mediator. Kedua belah pidak dihukum untuk mentaati isi "Akta
Perdamaian" itu, dan isinya pada umumnya sudah jelas sekali dan diakhiri
dengan menghukum kedua belah pihak untuk membayar biaya perkara masing-masing.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau in kracht van gewijsde.
Dari
aspek privat, hak-hak tanah mengandung kewenangan bagi pemegang hak untuk
menggunakan tanah tersebut dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Jadi,
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah oleh pemegang hak
dibatasi dengan peraturan perundang-undangan dengan penyelesaian sengketa
pertanahan melalui mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional dilandasi dengan
kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu
Keputusan Badan Pertanahan Nasional Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 yaitu
Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.V/2007 tentang petunjuk teknis penanganan dan
penyelesaian masalah pertanahan yang mana dengan mediasi di BPN lebih sesuai
dan lebih efektif dalam penyelesaiannya ketimbang mediasi di masyarakat ataupun
mediasi di pengadilan sebab Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki
kewenangan dalam hal administratif pertanahan sehingga lebih banyak mengetahui
sebelum terjadi masalah dan sengketa tanah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Mediasi merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa yang diterapakan di dalam sengketa hak atas tanah baik di
luar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan, diantaranya melalui
mediasi atau lebih dikenal dengan musyawarah di dalam masyarakat adat, dapat
pula menyelesaikan masalah sengketa perdata hak atas tanah melalui Badan
Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan atas Peraturan Perpres Nomor 10 Tahun
2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan BPN telah menerbitkan Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala
BPN RI No. 34 Tahun 2007, dan penyelesaian sengketa melalui badan peradilan
umum berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 yang di
direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan
proses berperkara di Pengadilan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun
2008.
2.
Berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagaimana telah
mengubah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003, yang mewajibkan
penyelesaian perkara perdata terlebih dahulu ditempuh dengan melalui upaya
perdamaian jika tidak ditempuh dengan jalur mediasi maka putusan hakim batal
demi hukum, sebab berdasarkan Peraturan, ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg.
3.2 Saran
Pada prinsipnya bentuk
penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga mediasi adalah merupakan
terjemahan dari karakter budaya bangsa Indonesia yang selalu mengedepankan
semangat kooperatif. Semangat kooperatif sudah mengakar sehingga nuansa
musyawarah selalu dihadirkan dalam setiap upaya menyelesaikan setiap sengketa
dalam masyarakat melalui upaya musyawarah untuk mencapai mufakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Muchsin, 16 Juli 2002,
Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegkan Hukumnya, Maria S.W.
Sumardjono.dkk. 2008. Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif
M.Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Bandung : PT.Citra Adtya Bakti Bandung,
Urip Santoso. 2006.
Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Gunawan Widjaja. 2001.
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Gatot Soemartono, 2006,
Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
K.Wantjik Saleh, 1981,
Hukum Acara Perdata RVG/HIR, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.
Retnowulan Sutantio,
Maret 2003, Artikel Internet
Anonim.
http:www.//id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah. Diakses 12 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar