Rabu, 09 Maret 2016

mekanisme penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan

MAKALAH
Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan

 
logo FISIP col



Nama                             : Martilah
Nim                      : GAC114 003
Jurusan                : Ilmu Pemerintahan (A)
Mata Kuliah                   : Politik dan Hukum Pertanahan
Dosen Pengampu : Darwis L, Rampay, SH,. MH






FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2015




KATA PENGANTAR
            Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan”. Saya mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Politik dan Hukum Pertanahan yang sudah membantu untuk memberikan pengarahan terhadap makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari bentuk penyusunan dan materinya. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca agar makalah ini bisa menjadi lebih baik dan sempurna. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi para pembaca.






Palangka Raya, 10  Desember 2015



Martilah




DAFTAR ISI

Cover.............................................................................................................................. i
Kata Pengantar.............................................................................................................. ii


Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................... 6

Bab II
Pembahasan
2.1 Bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui
      Peradilan umum....................................................................................................... 7
2.2 Mekanisme Penyelesaian sengketa Hak atas tanah melalui mediasi
      Di pengadilan......................................................................................................... 15

Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 20
3.2 Saran...................................................................................................................... 20

Daftar Pustaka............................................................................................................. 21


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Secara konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 telah diberikan penjelasan yang tertera bahwa bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam rangka mempelancar pengurusan, penggunaan serta pemanfaatan kekayaan negara, maka seluruhnya diserahkan kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, yang bertindak selaku Badan Penguasa berdasarkan wewenang dari rakyat serta mempergunakan wewenang itu untuk sebesar-besarnya kepada kemakmuran rakyat.
Adapun arti dikuasai atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun jugs dalam arti yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan tanah miliknya untuk mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah dengan tanda bukti segel sebagai pernyataan jual bell tanah antara pemilik (penjual) dengan pembeli.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria sendiri yang merupakan peraturan bidang pertanahan, memang mengandung 2 (dua) dimensi, yaitu :
1.      Hak Publik yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai" dari negara, hal ini terkait dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
2.      Hak Perorangan berupa hak-hak yang dapat dipunyai/dimiliki seseorang untuk menjual, menghibahkan, dan lain-lain.

Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk:
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang­orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak Menguasai Negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, hubungan antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut.
Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanah mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai tanah oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara harmonis dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling merugikan.
Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional, sedangkan yang menyangkut hak perorangan dalam proses peralihan haknya. Sebagai gambaran, pada saat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi dan bisnis properti terpuruk, maka kasus-kasus yang timbul dan sering mencuat ke permukaan adalah berkaitan dengan tanah baik itu mengenai penggusuran tanah untuk keperluan pembangunan, perumahan maupun industri yang didominasi oleh pihak-pihak yang kuat terhadap pihak-pihak yang lemah ekonominya.
Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik individu antar sesama terlebih dalam hal kepentingan masing-masing yang berbeda, hal-hal inilah yang menimbulkan dan mendatangkan dampak baik itu secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomis, sengketa tanah yang timbul telah memaksa pihak-pihak yang saling terlibat untuk mengeluarkan biaya dimana semakin lama proses penyelesaian sengketa/konflik ini maka semakin besar pula biaya yang hams dikeluarkan. Dalam hal ini dampak kelanjutan yang berpotensi terjadi adalah penurunan produktifitas kerja atau usaha disebabkan karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang bersengketa hams mencurahkan tenaga dan pikiran dan meluangkan waktunya secara khusus. Disatu sisi dalam masyarakat yang pluralisme yang mempunyai berbagai macam budaya adat dan istiadat di Indonesia, mereka yang masih memegang teguh dan mempercayai kebiasaan dari warisan nenek moyang/leluhur mereka dalam bersosialisasi atau bermasyarakat dan amat begitu kokoh dan penuh dengan kekeluargaan yang tinggi antara sesamanya sehingga dalam melakukan segala hal mengenai jual beli mereka masih menggunakan sistem tukar-menukar hasil tanah atau hasil kebun (barter) hal ini masih melekat disebagian kecil masyarakat kita di daerah pedalaman dan hal ini pula yang sebagian besar terjadi di dalam masyarakat kita dalam jual beli tanah yang masih menggunakan surat bukti atas hasil dari transaksi jual beli tanah dari si pemilik tanah dengan si pembeli tanah yang biasa disebut dengan segel.
Segel atau surat bukti jual beli dari penjual ke pembeli tanah tersebut masih merupakan suatu tanda sahnya jual beli di antara pars pihak yang berkepentingan tetapi surat bukti ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat jika tidak diterbitkan sertifikat tanah yang merupakan bentuk dari surat kepemilikan resmi dari pemerintah bahwa tanah tersebut telah tercantum dan terdaftar di kantor pertanahan setempat dimana letak tanah itu berada. Hal ini yang sering menimbulkan konflik di masyarakat kita di Indonesia bahwa tanah yang mereka miliki dari pembelian mereka atas tanah tersebut ternyata diserobot oleh pihak lain yang juga mempunyai kepentingan di atas tanah itu, akibatnya timbullah konflik/ sengketa tanah mengenai perebutan status kepemilikan yang sah atas tanah tersebut dan hal ini amat sangat memprihatinkan di kalangan masyarakat kita, karena masih minimnya pengetahuan masyarakat Indonesia akan pentingnya pendaftaran tanah yang mereka miliki agar dapat terhindar ataupun dapat mengurangi resiko tumpang tindih kepemilikan atas tanah yang sama.
1)      Untuk menghindari sengketa suatu peralihan hak atas tanah dalam hal jual beli haruslah dipenuhi syarat formil dan syarat materiil yaitu :
Syarat Formil harus ditempuh sesuai dengan prosedur dan syarat yang ditetapkan yaitu dibuat oleh/ dihadapan PPAT sebagai pejabat umum yang ditunjuk dan juga hams dipenuhi pula syarat administrasi lainnya seperti diserahkannya sertifikat asli bagi yang sudah bersertifikat ataupun bukti lain seperti segel dan surat bukti lainnya.
Syarat Materiil :
a.       Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya
b.      Pembeli adalah orang yang berhak untuk membeli hak atas tanah yang akan dibelinya.
c.       Tanah yang akan dijual (boleh diperjual belikan dan tidak dalam keadaan sengketa)
Nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif dan nomor 3 sebagai syarat objektif. Penyelesaian sengketa/konflik yang terjadi dalam bidang perdata, yang pada umumnya ditempuh adalah melalui jalur peradilan umum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang disebutkan bahwa kewenangan dari peradilan umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal-Pasal sebagai berikut :
a.       Pasal 2 menyatakan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuatan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
b.      Pasal 6 Pengadilan terdiri dari :
·         Pengadilan Negeri yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
·         Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding
c.       Pasal 50, Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
d.      Pasal 51 :
·         Pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
·         Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.

Ini merupakan suatu jalan tempuh penyelesaian melalui jalur litigasi yang memakan waktu yang panjang dan lama disamping itu juga memakan biaya yang banyak dan ini merupakan hambatan bagi para pihak yang ingin mencari keadilan, terlebih bagi masyarakat yang berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak mampu membayar biaya perkara. Maka hendaknya sengketa-sengketa pertanahan yang terjadi diselesaikan secara komprehensif dan terintegral dengan lebih mengedepankan prinsip win-win solution melalui jalur non-litigasi.
Begitu pula dalam penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah mufakat yang lebih dikenal dan telah berakar di dalam masyarakat Indonesia sebagai bentuk penyelesaian yang telah hidup dan dihormati dalam pergaulan antar sosial, pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional melalui musyawarah dan mufakat lebih ditekankan kepada untuk menjaga keharmonisan kelompok atau persatuan dan kesatuan bangsa, penyelesaian sengketa ini memiliki ragam bentuk misalkan mediasi atau arbitrase, mediasi dipandang lebih efektif sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak.
Penyelesaian sengketa melaui ADR secara implisit dimuat dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam struktur organisasi BPN dibentuk satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dan BPN telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 dan dalam menjalankan tugas tersebut BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi setelah berlakunya Perpres Nomor 10 Tahun 2006.
Pada era baru yang dikatakan sebagai zaman reformasi layaknya saat ini banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi, dalam arti perkembangan di masyarakat yang semakin lama semakin maju, perubahan­perubahan di atas baik itu di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik serta hukum khususnya dalam bidang investasi. Imbas dari adanya perkembangan dalam bidang hukum berdampak pula pada makin meningkatnya kesadaran hukum dimasyarakat dalam berinteraksi antar sesama.
Kesadaran ini lah yang melahirkan adanya suatu proses hukum yang dilakukan oleh masyarakat jika terjadi sengketa dengan menggunakan mediasi untuk menyelesaikan permasalahan agar dapat mencapai suatu kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak dengan melalui jalur perundingan. Dalam perkembangannya penyelesaian sengketa kemudian digunakan istilah Dispute Resolution (DR) atau mekanisme Penyelesaian Sengketa (MPS) pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tata cara penyelesaian sengketa melalui ADR yakni sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui predur yang disepakati para pihak dengan penyelesaian diluar pengadilan salah satunya dengan cara mediasi.
Latar belakang adanya proses mediasi ialah dengan penyelesaian diluar pengadilan masyarakat dapat lebih cepat ketimbang dengan berperkara di pengadilan yang memakan waktu yang lama, selain itu biaya yang mahal dapat ditekan, selain itu terkadang putusan di pengadilan tidak menyelesaikan perkara. Tidak ada putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa ke arah penyelesaian masalah dimana putusan pengadilan bukan sebagai pemberi solusi yang terbaik di antara para pihak yang bersengketa karena menimbulkan pemenang disatu sisi dan pihak yang kalah di sisi lainnya. Sehingga bukan kedamaian dan ketenteraman yang timbul, tetapi malah menimbulkan kebencian.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yuridis yang akan dibahas dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui Peradilan Umum?
2.      Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui mediasi di pengadilan?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penelitian sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bentuk mediasi dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui Peradilan Umum.
2.      Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa hak atas tanah melalui mediasi di pengadilan.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Peradilan Umum.
Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai atau lengkap mengenai penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh Para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali dengan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadi conflik interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan apabila tidak ada titik temu penyelesaian maka ini dikatakan sebagai sengketa yang secara garis besar terdapat dua kubu / pihak yang mempunyai pendirian masing-masing.
Sengketa tanah yang terjadi juga tidak terlepas dari perbedaan tafsir terhadap hak publik dan hak perorangan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Hak publik antara lain wewenang pemberian sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan yang menyangkut hak perorangan dikarenakan proses peralihan hak.
Sengketa tanah yang timbul antara lain terkait dengan warisan, penerbitan sertifikat, perbuatan hukum peralihan hak atas tanah (jual beli, hibah), dan pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum dapat dibagi menjadi 5 (lima) kelompok:
1.      Sengketa disebabkan oleh kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru
2.      Tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan tentang sumber daya agrarian.
3.      Tumpang tindihnya penggunaan tanah
4.      Kualitas sumberdaya manusia dari aparat pelaksana, dan
5.      Berubahnya pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan yang umumnya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan dan hat ini berakibat dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat. Agar terciptanya proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang hams dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan hak untuk di dengar sehingga dapat tercipta titik temu dari penyelesaian masalah/sengketa.
Ada 3 (tiga) faktor utama yang memengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu:
1.      Kepentingan (intersect).
2.      Hak-hak (rights).
3.      Status Kekuasaan (power).
Para pihak yang bersengketa menginginkan agar kepentingannya tercapai, hak-haknya dipenuhi, dan kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan. Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras dan bersikukuh mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas. Latar belakang lahirnya ADR (Alternative Dispute Resolution) adalah dikarenakan :
1.      Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan.
2.      Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa.
3.      Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan.
4.      Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan.
ADR merupakan suatu istilah asing yang perlu dicarikan padananya dalam Bahasa Indonesia. Alternative Dispute Resolution (ADR) sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan atau mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan menempuh cara berperkara di depan persidangan yang memakan waktu lama dan biaya yang tidaklah sedikit disamping itu adanya krisis kepercayaan masyarakat akan kemadirian lembaga peradilan sehingga orang enggan menyelesaikan masalah melalui jalur hukum dan oleh karena itu mereka mencari jalur alternatif penyelesaian sengketa atau konflik yang terjadi dengan harapan dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tanpa menimbulkan perpecahan ataupun rasa kurang puas akan hasil dari putusan pengadilan, dan salah satu cara yang dipergunakan adalah dengan menempuh jalur mediasi.
Mediasi dan perdamaian ini diterbitkan sebagai salah satu upaya untuk mensosialisasikan pentingnya pemberdayaan lembaga damai yang seharusnya dimaksimalkan oleh hakim sebagai penegak hukum dalam perkara perdata yang memiliki banyak keuntungan dalam menggunakan atau menempuh jalur mediasi sebagai salah satu alternatif menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. Keuntungan itu antara lain sengketa yang terjadi antara para pihak dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, hubungan baik antara yang bersengketa tetap dapat dipertahankan dan terhindar dari publikasi berlebihan yang dapat mempengaruhi "performance" pihak-pihak yang bersengketa Dalam mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa diluar proses peradilan pada umumnya, penyelesaian lebih ditekankan pada kebaikan semua pihak.
Upaya damai adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (pasal 1851 KUH Perdata). Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerapkan Lembaga Damai yang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 130. Diatur Pula sebelumnya di dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didalamnya kita dapat temui sekurang-kurangnya ada enam macaw tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :
1.      Konsultasi
2.      Negosiasi
3.      Mediasi
4.      Konsiliasi
5.      Pemberian Pendapat Hukum; dan
6.      Arbitrase
Pengaturan mengenai Mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 6 ayat (3) Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut rumusan dari Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seoarang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator sebagai pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen yang sifatnya netral atau tidak memihak dan berfungsi sebagai mediator dan berkewajiban melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, pengertian mediasi disebutkan pada Pasal 1 butir 6 yaitu Mediasi ialah penyelesaian sengketa melaui proses perundingan para pihak dibantu mediator (pihak yang bersifat netral dan tidak memihak (Pasal 1 butir 5), yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Mediasi itu sendiri dalam praktek di masyarakat memiliki 3 (tiga) jalur penyelesaian yang berbeda satu-sama lain diantaranya melalui mediasi adat, mediasi melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mediasi di pengadilan.
Musyawarah dan mufakat adalah penyelesaian sengketa yang telah berakar dan membudaya yang telah hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia yang memiliki ragam suku dan budaya sosial, penyelesaian melalui cara musyawarah antara pihak di dalam masyarakat kita lebih ditekankan dan sangat dihormati dan dihargai untuk menjaga keakraban kesatuan masyarakat serta keharmonisan dalam bermasyarakat yang biasanya dalam bentuk lembaga adat contohnya di daerah Sumatera Barat penyelesaian sengketa telah diperkuat melalui peraturan daerah yang menekankan terlebih dahulu penyelesaian melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN), apabila para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui lembaga adat atau menyerahkan kepada kepala adat sebagai salah satu orang yang mempunyai wawasan dan pemahaman akan sejarah dan perubahan yang terjadi, bijaksana, memiliki orang-orang yang dihormati dalam masyarakat yang memiliki kedudukan penting di dalam masyarakat. Permintaan tersebut disampaikan baik secara lisan atau tulisan kepada lembaga adat atau kepala adat untuk meminta pertolongan dalam menyelesaikan sengketa kaum atau masyarakat adat, misalkan dengan menggambarkan secara singkat tentang sengketa tersebut, menyebutkan pihak-pihak yang terlibat, dan permintaan memohon bantuan penyelesaian dengan musyawarah antara para pihak, sehingga para tokoh adat menjadi pihak penengah dalam musyawarah tersebut.
Dengan merujuk pada Perpres No.10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam penyelesaian sengketa dan konflik mengenai pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, dalam menjalankan dan melaksanakan tugas ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan upaya antara lain melalui mediasi.
Sedangkan dalam penyelesaian perkara di peradilan hams memegang teguh pada asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dan salah satu bentuk pelaksanaan dari asas-asas peradilan diantaranya adalah dengan upaya damai oleh hakim yang memeriksa perkara-perkara perdata yang mana bersifat imperatif dan sudah merupakan tugas penegak hukum untuk mengusahakan semaksimal mungkin agar para pihak dapat berdamai dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara mereka.Adapun pola umum dari mediator sebagai pihak ketiga di dalam rangka menyelesaikan sengketa perdata, mediator tersebut dapat dipilih oleh pihak yang bersengketa ataupun dapat Pula ditunjuk oleh hakim majelis dalam perkara yang sedang ditanganinya, mediator ini mempunyai kewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak sebagai pendalaman atas kasus apakah Jaya. Berdasarkan dari informasi yang diperoleh lalu kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan masing-masing pihak yang bersengketa dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian yang kemudian dikomunikasikan kembali kepada para pihak secara langsung.
Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif sehingga dapat tercipta kompromi diantara para pihak atau kedua belah pihak agar semaksimal mungkin menghindari terjadinya saling tuduh dan saling menyalahkan dan berakibat gagalnya mediasi dan mengusahakan dapat tercapainya kesepakatan yang dapat saling memberikan keuntungan dan rasa puas diantara kedua pihak yang bersengketa.
Apabila dalam mediasi tersebut telah didapat kesepakatan bersama maka mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan membantu pelaksanaan dari kesepakatan tertulis yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak tersebut.
Bagi bangsa Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari masyarakat yang majemuk dan beraneka ragam budaya penyelesaian konflik atau sengketa secara musyawarah mufakat telah membudaya yang hidup dan dihormati dalam lalu lintas pergaulan sosial, hanya saja pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional dengan melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kelompok dan kepentingan dari pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana dan biaya ringan sesuai dengan asas Hukum Acara Perdata, Pasal 130 MR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat diintensifkan dengan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara. Hal ini dilatarbelakangi oleh menumpuknya jumlah perkara yang masuk dan belum terselesaikan khususnya di Mahkamah Agung sehingga memperlambat kerja dan proses peradilan sehingga kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, Persoalan yang menjadi beban pengadilan selama ini, terutama pada tingkat Mahkamah Agung adalah semakin meningkatnya perkara yang masuk, yang setiap tahun perkara yang masuk bukannya berkurang, tetapi malah meningkat.
Sementara hakim yang harus menyelesaikan perkara tersebut, cara kerjanya sangat terbatas sehingga perkara yang masuk tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Berbagai solusi telah diupayakan untuk mengurangi tunggakan perkara agar semakin banyak perkara yang diputus, tetapi hasilnya tidak memuaskan.dan untuk mengatasi hal tersebut maka dengan mengoptimalkan lembaga perdamaian seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg yaitu dengan menerbitkan aturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan maka setidaknya diharapkan dapat mengurangi perkara di pengadilan sehingga dapat menyelesaikan perkara dengan lebih cepat dan efesien.
Belum lagi pada era perdagangan bebas yang rencananya akan dimulai pada tahun 2016, kemungkinan tingkat sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan proses perekonomian negeri ini akan menjadi meningkat. Sengketa itu selain kualitas dan kuantitasnya bertambah, juga aneka macamnya juga akan bertambah. Tidak hanya terjadi antar kepentingan di dalam negeri, tetapi juga mencakup kepentingan dengan pihak luar secara internasional. Kalau penyelesaian perkara yang masuk ke pengadilan hanya memakai cara-cara yang konvensional, maka tidak dapat terbayangkan betapa banyak beban pengadilan untuk memutus perkara yang masuk.
Kalau tidak terjadi perubahan tentang proses penegakan hukum di Indonesia, maka akan sulit untuk menarik investor asing ke dalam negeri. Padahal prioritas utama pebisnis asing adalah kepastian hukum. Kalau ada sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan, hams ada penyelesaian secara cepat dan jelas. Ini merupakan satu tantangan bagi pengadilan di mana suatu penegakan hukum hams dilakukan secara cepat dan tuntas. Apabila tidak demikian, maka pebisnis asing bukan hanya tidak mau datang ke Indonesia, tetapi yang sudah ada di Indonesia bisa-bisa hengkang ke luar negeri.
Jika melihat kembali kepada aturan khusus yang mengatur ADR diantaranya yaitu pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Penyelesaian Sengketa yang isinya sengketa atau beda pendapat diselesaikan oleh para pihak melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri dengan pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan dibantu oleh seorang atau lebih penasehat ahli maupun seorang mediator dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis dan apabila tidak berhasil mencapai kata sepakat maka para pihak dapat menghubungi lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam pasal tersebut dapat dilihat tahapan mediasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-           Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang pada intinya apabila tidak ditemukan kata sepakat atau tidak tercapai kesepakatan maka para pihak yang bersengketa dapat menghubungi atau menyelesaikan melalui lembaga arbitrase, hal ini justru semakin memperlambat waktu penyelesaian suatu sengketa.
Peraturan Mahkamah Agung yang setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan dengan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yang secara fundamental telah merubah praktek peradilan di Indonesia yang berkenaan dengan perkara-perkara perdata.
Berdasarkan pertimbangan dari Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2008 bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) dengan hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri sehingga cukup waktu untuk mempelajari.
Meskipun demikian ada pola umum yang diikuti dan dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, bare kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa.
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengerti secara konperhensip mengenai mediasi, perlu dipahami tentang tiga aspek dari mediasi :
1.      Aspek urgensi / motivasi
Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan­persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka.
2.      Aspek prinsip
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.
3.      Aspek substansi
Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang hams dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang hams dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa.
`           Di masa depan, pengadilan diharapkan bisa menjadi filter dari persoalan-persoalan dan pertikaian yang terjadi di dalam masyarakat sehingga masyarakat menjadi tenteram dan damai, bukan malah memunculkan masalah-masalah baru yang pada gilirannya akan mengganggu proses pembangunan pada umumnya. Apabila masyarakat selalu berada di dalam kondisi konflik, maka secara psikologis kehidupan berbangsa akan menjadi terganggu yang pada gilirannya akan memacetkan rencana pemberdayaan perekonomian masyarakat. Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah berhubungan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Banyak pertanyaan dari rekan-rekan prakisi hukum, apakah pelaksanaan mediasi nantinya dalam setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan tidak akan mengganggu asas peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Memang untuk pelaksanaan mediasi butuh waktu, butuh biaya yang akhirnya menjadi tidak sederhana. Apabila diperhatikan secara sepintas, mungkin jawabannya pasti ya. Artinya proses mediasi akan mengganggu proses peradilan yang hams dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Tetapi apabila dikaji secara mendalam, maka akan ditemukan suatu pencerahan yang luar biasa dari praktek mediasi ini. Memang, karena mediasi merupakan hukum acara bam dalam praktek peradilan di Indonesia, maka pada awal pelaksanaannya seakan menjadi beban dalam proses berperkara di pengadilan. Padahal kalau nanti mediasi sudah menjadi praktek yang mapan dan dijalankan secara profesional, maka mediasi akan merupakan alternatif yang ideal bagi proses berperkara di pengadilan.

2.2 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Melalui Mediasi Di Pengadilan.
Dalam pemeriksaan perkara sengketa perdata yang diantaranya mengenai hak atas tanah, hakim yang mengadili wajib mengusahakan perdamaian antara kedua belah berperkara. Dasar hukumnya, Pasal 154 R.Bg atau Pasal 130 H1R:
1.      Apabila pada hari yang telah ditentukan, kedua belah pihak hadir, maka pengadilan dengan perantaraan Ketua sidang berusaha memperdamaikan mereka.
2.      Apabila perdamaian tercapai pada waktu persidangan, dibuat suatu akta perdamaian yang mana kedua belah pihak dihukum akan melaksanakan perjanjian itu; akta perdamaian itu berkekuatan dan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
3.      Terhadap putusan sedemikian itu tidak dapat dimohonkan banding.
4.      Dalam usaha untuk memperdamaikan kedua belah pihak, diperlukan bantuan seorang juru bahasa.
Berdasarkan ketentuan di atas, pada hari sidang pertama apabila kedua belah pihak hadir, pada saat itulah hakim dapat berperan secara aktif. Untuk keperluan perdamaian hakim dapat menunda persidangan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak berperkara. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim dipersidang hasil perdamaian yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangah yang ditulis di atas kertas bermaterai atau acte van darling.
Berdasarkan adanya perdamaian tersebut maka hakim menjatuhkan putusannya atau acte van vergelijk, yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dapat dimungkinkan. Usaha perdamaian terbuka sepanjang pemeriksaan dipersidangan. Dengan dicapainya perdamaian maka proses pemeriksaan perkara berakhir.
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 menggariskan kebijakan internal yang isinya :
1.      Hakim atau Majelis yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 H.I.R atau Pasal 154 Rbg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian.
2.      Hakim yang ditunjuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat, dan pengumpulan data-data dan argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian.
3.      Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara, Hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan atau win-win solution.
4.      Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihak tidak dapat menjadi Hakim majelis pada perkara yang bersangkutan untuk menjaga objektifitas.
5.      untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator, maupun mediator kepada Hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama tiga bulan, dan dapat diperpanjang, apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagamana dimaksud dalam SEMA:No.6 Tabun 1992.
6.      Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan ditanda tangani, kemudian dibuatkan Akte Perdamaian atau Dading, agar dengan Akta Perdamaian itu para pihak dihukum untuk menepati apa yang disepakati atau disetujui tersebut.
7.      Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian atau reward bagi hakim yang menjadi fasilitator atau mediator.
8.      Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, Hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mejelis dan pemeriksaan perkara dapat dilaniutkan oleh majelis Hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.
9.      Hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Negeri secara teratur.
10.  Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.     
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2003, tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, yang isinya mengatur tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediator hakim tunggal yang di tunjuk oleh Ketua Pengadilan tingkat pertama. Hakim mediator di sini adalah hakim yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak bersengketa dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama menurut Peraturan Mahkmah Agung tersebut wajib untuk lebih dahulu dise1esaikan mela1ui perdamaian dengan bantuan mediator. Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib mentaati kode etik mediator. Penyelesaian sengketa melalui mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung tersebut ada dua tahap, yaitu :
1.      Tahap Pra Mediasi yang diatur dalam Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yaitu : pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belch pihak yang hadir diberitahu akan kewajiban untuk menumpuh terlebih dahulu jalur mediasi dan hakim hares menjelaskan prosedur mediasi dan berusaha mendorong dan memotivasi para pihak atau kuasa hukum untuk berperan aktif di dalam proses mediasi intinya para pihak yang berperkara lebih dahulu menuntut mediasi, dan hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan termasuk biaya yang akan timbul akibat pemilihan mediator.
2.      Tahap Mediasi yang diatur dalam Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang intinya dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemilihan atau pemilikan mediator yang disepakati, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua Majelis Hakim. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan di tanda tangani oleh para pihak dan mediator. Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai. Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim yang mengadili perkara, pada hari siding yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah tercapainya kesepakatan. Selanjutnya, hakim mengukuhkan ksepakatan sebagai akta perdamaian.
Apabila mediasi tidak menghasilkan kesepakatan dalam waktu maksimal 40 hari, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim. Setiap pihak diberi kesempatan untuk mempresetasikan suatu outline kepada mediator. Meskipun biasanya pihak yang mengajukan kasus yang memulai presentasi. Tujuan dari presentasi ini adalah memberikan informasi kepada mediator tentang sengketa mereka, memberikan kesempatan kepada para pihak untuk didengar dan juga memberi kesempatan kepada setiap pihak mendengarkan kasus sengketa yang terjadi dari pihak lainnya secara langsung.
Peran mediator selanjutnya mengidentifikasi masalah atau hal yang sudah disepakati bersama diantara para pihak. Hal ini akan membantu para pihak melihat aspek positif pada permasalahan, Mediator berperan penting dalam menunjukkan beberapa masalah yang telah disepakati para pihak yang bersengket, dalam hal yang substantif misalnya mengenai hak atas tanah. Setelah para pihak menguraikan semua permasalahan dari sengketa yang terjadi lalu mediator membuat struktur untuk pertemuan mediasi, yang meliputi masalah-masalah yang diperselisihkan dan sedang berkembang, sedang dikonsultasikan oleh para pihak, sehingga tersusun suatu daftar isu menjadi suatu agenda.
Selanjutnya proses mediasi akan beralih kepada tahap negosiasi, mediator mempertemukan para pihak yang bersengketa ataupun wakil-wakil yang diberi kuasa dari para pihak untuk berbicara langsung satu sama lainnya. Mediator berperan menjaga kelangsungan acara mediasi, mencatat kesepahaman, meringkas atau membuat kesimpulan, dan sekali-kali mengintervensi atau memberi jalan tengah dalam proses komunikasi dalam mediasi. Bentuk lain dari mediasi, mediator mengatur seluruh arah pembicaraan, langsung terlibat dalam mediasi kepada para pihak dan wakil kuasa dari para pihak serta menawarkan solusi. Pertemuan terpisah merupakan suatu cara atau jalan tengah dalam proses mediasi, mediator akan memanggil pihak-pihak yang bersengketa secara terpisah baik itu pertemuan dengan wakil kuasa dari pihak maupun dari pihak yang bersengketa itu sendiri. Mediator mengadakan pertemuan secara terpisah berguna untuk :
1.      Menggali kasus sengketa yang terjadi dari pihak yang satu dengan pihak yang lain agar tercipta kesepakatan.
2.      Memberikan suasana dinamis pada proses mediasi apabila ditemukan jalan buntu dari suatu permasalahan sengketa.
Para pihak dan kuasa hukum pihak dapat pula meminta terpisah, kuncinya mediator mengadakan pertemuan secara terpisah antara satu pihak dengan pihak lain. Setelah mengadakan pertemuan terpisah para pihak akan dikumpulkan kembali guna mendiskusikan dan membuat negosiasi akhir dengan menyelesaikan sengketa dengan lebih cermat didampingi oleh mediator sebagai pihak perantara atau pengawas untuk mendengar hasil akhir dari mediasi yang telah mereka jalani apakah berhasil atau tidak, disini pihak perantara atau mediator memiliki batasan hanya sebagai perantara saja bukan pemutus hasil akhir dari mediasi para pihak, hasil akhir mediasi ditentukan para pihak yang bersengketa.
Hasil dari mediasi akan dituangkan dalam tulisan atau catatan sebagai nota kesepakatan dan ditandatangani kemudian disempurnakan oleh pihak kuasa dari para pihak yang bersengketa sehingga menjadi kesepakatan akhir. Keputusan perdamaian itu dituangkan dalam "Akta Perdamaian" yang dibuat oleh hakim atau mediator. Kedua belah pidak dihukum untuk mentaati isi "Akta Perdamaian" itu, dan isinya pada umumnya sudah jelas sekali dan diakhiri dengan menghukum kedua belah pihak untuk membayar biaya perkara masing-masing. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau in kracht van gewijsde.
Dari aspek privat, hak-hak tanah mengandung kewenangan bagi pemegang hak untuk menggunakan tanah tersebut dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Jadi, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah oleh pemegang hak dibatasi dengan peraturan perundang-undangan dengan penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional dilandasi dengan kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu Keputusan Badan Pertanahan Nasional Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 yaitu Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.V/2007 tentang petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan yang mana dengan mediasi di BPN lebih sesuai dan lebih efektif dalam penyelesaiannya ketimbang mediasi di masyarakat ataupun mediasi di pengadilan sebab Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki kewenangan dalam hal administratif pertanahan sehingga lebih banyak mengetahui sebelum terjadi masalah dan sengketa tanah.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.      Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang diterapakan di dalam sengketa hak atas tanah baik di luar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan, diantaranya melalui mediasi atau lebih dikenal dengan musyawarah di dalam masyarakat adat, dapat pula menyelesaikan masalah sengketa perdata hak atas tanah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdasarkan atas Peraturan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan BPN telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007, dan penyelesaian sengketa melalui badan peradilan umum berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 yang di direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008.
2.      Berdasarkan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagaimana telah mengubah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2003, yang mewajibkan penyelesaian perkara perdata terlebih dahulu ditempuh dengan melalui upaya perdamaian jika tidak ditempuh dengan jalur mediasi maka putusan hakim batal demi hukum, sebab berdasarkan Peraturan, ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg.

3.2 Saran
Pada prinsipnya bentuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga mediasi adalah merupakan terjemahan dari karakter budaya bangsa Indonesia yang selalu mengedepankan semangat kooperatif. Semangat kooperatif sudah mengakar sehingga nuansa musyawarah selalu dihadirkan dalam setiap upaya menyelesaikan setiap sengketa dalam masyarakat melalui upaya musyawarah untuk mencapai mufakat.





DAFTAR PUSTAKA

Muchsin, 16 Juli 2002, Konflik Sumber Daya Agraria dan Upaya Penegkan Hukumnya, Maria S.W. Sumardjono.dkk. 2008. Mediasi Sengketa Tanah (Potensi Penerapan Alternatif M.Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : PT.Citra Adtya Bakti Bandung,
Urip Santoso. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.
Gunawan Widjaja. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT.  Gramedia Pustaka Utama.
K.Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata RVG/HIR, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.
Retnowulan Sutantio, Maret 2003, Artikel Internet
Anonim. http:www.//id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas­_tanah. Diakses 12 Januari 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar